Senin, 22 Juli 2013

Bintang dan Lorong Putih

Bintang, sampai kapan ia akan menangis,
Dalam senyuman, hatinya teriris,
Lagi-lagi takdir membunuhnya sadis,
Hidup memang tak selalu manis,

Bintang, janganlah kau merana,
Dongen-dongeng terdengar mempesona,
Tak kau miliki dan buat kau bertanya,
Akan cintamu yang entah di mana,

Oh lihat itu dua kenalannya lewat di depan jendela

Kemudian, oh tidak, Bintang, hentikan.

Jangan lagi kau buatku tenggelam dalam air matamu

Ia pergi ke bawah. Di depan cermin, ia tusuk wajahnya sendiri. Kemudian sembuh, lalu ia tusuk lagi. Sembuh, tusuk, sembuh, tusuk. Berabad-abad terus tanpa henti.

Kemudian Bintang akan naik lagi ke kamarnya. Di kotak itu, ia simpan pisaunya. Entah pisau yang keberapa ribu kali ini. Sambil ia simpan kotak itu di kolong kasurnya, hatinya terus menyesal. 
Mungkin aku memang manusia terkotor di bumi ini, pikirnya.

Bintang sahabatku, ia bukan gadis gila, ia hanya tak mampu menjawab rasa yang mengganjal di hatinya, 

"MENGAPA AKU TAK BISA SEPERTI MEREKA??!!!"

Dalam lorong gelap tak berujung, ia teriakkan pertanyaan itu. Lalu ia cabut jantung dari dalam dadanya.
Darah mengucur deras.

Bintang si gadis biasa yang sangat biasa, dalam hatinya ia terus tanyakan.

"Di manakah kau yang terima buruk rupaku?"
"Di manakah kau yang terima kebodohanku?"
"Di manakah kau yang terima kekasaranku?"
"Di manakah kau yang mampu melihat baikku?"
"Di manakah kau, kau yang akan sangaaaat aku cintai lebih dari diriku sendiri?"

"Tak perlulah kau yang kata orang sempurna akan segalanya, yang ku ingin hanyalah ia yang ku kenal dan ku cintai karena Tuhan. Ia yang tak hanya belahan jiwaku, namun juga sahabat tempatku berbagi hingga akhir hayat"

"Aku ingin seperti mereka, sungguh. Aku ingin punya kisahku sendiri. Aku juga manusia.  Aku tak perlu  uang banyak ataupun kedudukan, aku hanya ingin mencintai dan dicintai"

"MEREKA MENDAPATKANNNYA! MEREKA MENDAPAT YANG JUSTRU SANGAT SEMPURNA. SEMENTARA AKU HANYA MENGINGINKAN HAL YANG SEDERHANA, NAMUN TAK PERNAH KUDAPATKAN!"

"Aku kurang apa? Kurang cantik seperti dia? Apa sifatku yang apa adanya ini justru buruk? Perlukah aku berubah?"

Dalam gejolak jiwanya, Bintang menuliskan semua itu dengan darahnya pada tembok lorong ini. Lorong putih yang tak pernah tersentuh orang lain.

Ia lalu ragu, mungkin pertanyaannya bukanlah "Di manakah kau" namun "Adakah kau"

Dalam kubangan darah, Bintang menangis. Wajahnya biru. Bintang pun mati tenggelam dalam darah bersama luka di hatinya. Ia dan lorong itu tak pernah ditemukan. 

Hanya aku, nuraninya yang tahu semua di mana.

0 komentar:

Posting Komentar